Saturday, June 2, 2007

Mencontek, Celoteh Kosong Burung Beo

Lufi Herawan

“Lho siapa tuh yang ngomong . . .!”

Ungkapan yang tiba-tiba keluar dari mulut setiap orang yang sengaja menginjakkan kakinya dihalaman depan rumahku, walaupun hanya sekedar lewat. Ya Si Bola burung Beo kesayangan ayah selalu melemparkan salam ketika semua orang menampakkan hidung didepan pintu rumahku. Ya rumah mungil yang hanya dihuni oleh ayah, ibu dan satu adik perempuanku. Tepat disamping pintu ayah sengaja meletakkan rumah Si Bola, sehingga memudahkan ayah melatih Si Bola ketika sedang asik santai duduk di beranda depan rumah. Selain itu secuil taman didepan rumah akan membuat Si Bola merasa senang dan nyaman karena hijaunya daun-daun pohon yang menjadi pagar rumah.

Demkian besar dan agungnya ciptaan Allah yang telah menciptakan binatang yang mampu dengan jelas menirukan suara manusia. Yah walaupun Si Bola tidak mengetahui apa yang diucapkannya. Ayahku yang setiap sore selalu melatih Si Bola kadang dibuat sebal dengan celotehannya yang kadang tidak sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Sore ini seperti biasa ketika santai diberanda rumah, ayah pun mengajarkan Si Bola ucapan sederhana yang kira-kira bisa diucapkan, seingatku kata-kata itu berbunyi “Aku Pintar”. Si Bola dengan keahliannya meniru suara dan hanya dengan beberapa kali contoh ucapan dari ayah, sudah bisa mengucapkannya dengan lancar. Aku yang sedari tadi menemani ayah santai dengan sedikit mencicipi kue hangat buatan ibu dengan ditemani teh manis hangat dibuat tertegun oleh ulah Si Bola.

Pagi ini ketika aku melangkahkan kaki keluar. Aku pun disambut dengan celotehan Si Bola yang diajarkan ayah kemarin sore, “Aku Pintar.” Celoteh Si Bola. Aku pun maklum dengan ucapan Si Bola, karena memang Si Bola tidak memahami apa yang seharusnya diucapkan ketika melihat orang keluar dari rumah. Tanpa pikir panjang lagi, langsung aku hidupkan kuda besiku dan aku kendarai menerobos pekatnya udara pagi.

Tak lebih dari 30 menit akupun sudah sampai dipelataran parkir kampus megah yang menjadi tempat aku menuntut ilmu, mata kuliah-mata kuliah tentang manajemen informatika pun menjadi saksi keseriusanku menerima setiap ilmu yang disampaikan dosen. Mataku langsung menyapu halaman depan kampus yang telah disulap menjadi taman indah disertai dengan bangku tempat mahasiswa berkumpul. Sesaat aku saksikan mahasiswa berkumpul disalah satu sudut taman untuk sekedar ngobrol. Disudut lain aku juga menyaksikan ada yang sedang asik bercinta dengan buku tebal yang menjadi sumber ilmu. Bahkan disisi taman yang lain aku menyaksikan sepasang mahasiswa yang sedang memadu kasih. “Huh bagaimana Indonesia bisa maju kalo mahasiswanya seperti ini” gumamku lirih menyaksikan pemandangan panas tersebut. Kemudian aku pun teringat dengan cerita dosenku ketika beliau menempuh pendidikan di negara lain. Dibebrapa negara, kampus sengaja memberikan tempat seperti taman sebagai sarana yang dapat digunakan untuk belajar maupun diskusi bagi mahasiswanya, tetapi lain lagi certanya ketika kita lihat kampus-kampus di Indonesia. Dosenku malanjutkan ceritanya, ketika sarana perpustakaan sangat dimanfaatkan oleh mahasiswa dan gedung perpustakaan pun banyak berdiri serta mudah untuk ditemukan. Sarana perpustakaan kampu-kampus Indonesia tak ubahnya seperti sarana yang dibikin sekedarnya, serta sangat sulit untuk ditemukan. Bahkan tidak begitu dimanfaatkan oleh mahasiswa.

Satu lagi yang membuat hatiku agak miris menyaksikan pendidikan di Indonesia terutama mahasiswanya, adalah adanya indikasi tidak serius serta ingin serba instan dan santai dalam menempuh pendidikan formal ini, padahal kita ketahui bersama bahwa suatu hasil akan sesuai dengan apa yang telah diusahakannya. Artinya kalo kita mau pintar dan berhasil dalam study berarti tidak ada waktu untuk santai tetapi kita harus serius dan rajin dalam menempuh pendidikan formal tersebut.

Akhirnya aku lanjutkan kembali perjalananku menuju ruang kelas tempat aku melaksanakan ujian akhir semester yang sampai beberapa hari kedepan masih harus aku tempuh. Koridor kampus pun dengan setia menemaniku menuju ruang kelas, tapi betapa terkejutnya ketika kusaksikan beberapa mahasiswa sedang sibuk mempersiapkan catatan kecil yang sudah dipersiapkan dari rumah, bahkan ada juga yang memperkecil materi kuliah dengan cara memfotokopy. Astagfirullah ucapku dalam hati. “Apakah harus seperti ini mahasiswa Indonesia ?!” ucapku lirih. Bahkan disisi lain koridor ada suara lirih yang aku tangkap “Santai aja, khan ada contekan.”. Sekali lagi aku beristigfar. “Semudah ini kah mereka mempertanggung jawabkan hasil belajar mereka, bukan hanya kepada diri mereka sendiri tapi juga orang tua mereka bahkan langsung kepada Allah SWT.” ucapku dalam hati disertai memohon perlindunganNya.

Aku pun menghela nafas sambil terus berfikir, memang mencontek sudah menjadi kebudayaan dikalangan siswa dan mahasiswa Indonesia. Aku pun pernah merasakan takut ketahuan ketika aku sedang mencontek, tapi mungkin Allah masih sayang kepadaku sehingga akupun sadar bahwa hal itu tidak baik dan sama sekali tidak bermanfaat, aku pun mulai meninggalkan kebiasaan jelek itu. Kemudian tiba-tiba aku teringat dengan Si Bola burung Beo kesayangan ayah. “Apakah mahasiswa Indonesia mau menjadi burung Beo, yang hanya bisa berceloteh kosong tanpa sedikitpun mengetahui maknanya, Apakah mahasiswa Indonesia mau menjadi burung Beo, yang hanya bisa menulis ulang materi kuliah tanpa mengetahui dan memahami isinya, Apakah mahasiswa Indonesia mau menjadi burung Beo, yang mempunyai gelar kesarjanaan tapi tidak bisa mempraktekkan ilmu sesuai bidang keahliannya.” Gumamku dalam hati.

dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).”

(QS. An Najm : 40)

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(QS. Al Mujaadilah : 58)

Walahua’lam bish showab